Aku melangkah gontai
melewati gerbang sekolah. Sejak pelajaran pertama hingga bel pelajaran terakhir
berbunyi, pikiranku telah mengembara kemana-mana, hingga akhirnya tiba di satu
titik: Ibu.
“Ibu sudah tua, Din.
Sebentar lagi umurnya 76 tahun. Ibu sudah mulai pikun, sakit-sakitan. Aku
ingin yang terbaik buat Ibu, Din!” Suara Kak Dita terngiang terus di kupingku.
“Yang terbaik? Untuk
Ibu? Dengan membuangnya di panti jompo? Itukah yang terbaik?” jawabku waktu
itu.
“Seharusnya kamu juga
memahami posisi kakak, Din. Bang Tio cuma seorang satpam di supermarket…,
berapa sih gajinya? Anak kami sudah tiga orang. Kamu tahu kan harga susu dan
kebutuhan pokok lainnya kini melangit? Dan rumah kontrakan ini? Cuma sepetak,
Din! Sepetak yang disekat menjadi dua kamar. Ibu tak bisa di sini lagi, Din!”
Tangis keponakan
ketigaku yang belum berusia setahun mengejutkan kami. Kak Dita segera meraihnya
dari ayunan dan menggendongnya.
“Dia lapar. Susunya
habis. Bahkan untuk membeli kardus kecil pun kadang kami tak bisa.”
Kak Dita meraih
segelas air putih, lalu memasukkan sesendok gula, mengaduknya rata dan
menyuapkannya pada keponakanku yang lapar.
Aku mengelus dada.
Perih menohok dan mataku yang mulai berkabut menelusuri seluruh sudut rumah
kayu yang kecil dan kusam ini, lalu terhenti pada balai-balai rapuh tempat Ibu
kini terbaring dengan mata menerawang. Aroma sayuran yang baru selesai ditumis,
lantai lembab beralas tanah dan bau asap dari kompor minyak tanah yang baru
dimatikan menambah pengap ruangan tanpa jendela ini.
Dulu ketika Kak Dita
belum menikah, kami bertiga tinggal di rumah sederhana peninggalan Bapak.
Tetapi setelah Bapak meninggal karena komplikasi penyakitnya yang telah
menahun, rumah tersebut terpaksa dijual untuk membayar utang ke sana kemari.
Dalam keadaan kritis seperti itu Bang Tio Pakpahan melamar Kak Dita yang baru
saja tamat SMU. Bang Tio memboyong kami semua ke rumah ini. Tetapi karena
keadaan mereka sangat pas-pasan, satu-satunya kerabat Bapak: Paman Hadi
mengajakku tinggal bersama keluarganya dan menyekolahkanku. Beliau merasa
berhutang budi pada bapak, namun hidup beliau sendiri sebenarnya pas-pasan.
“Hampir tiap malam aku
dan Bang Tio bertengkar soal Ibu. Ibu bukan cuma pikun dan menyusahkan…tetapi
juga terlalu mencampuri urusan kami!” suara Kak Dita lagi. “Aku capek, Din!
Pekerjaanku sebagai tukang cuci-seterika masih harus ditambah dengan merawat
tiga anak yang masih kecil dan seorang jompo! Tahukah kau betapa lelahnya aku!
Itu semua ditambah lagi dengan hubunganku yang tak pernah harmonis dengan
suamiku sendiri! Dan itu karena Ibu, Din!” suara Kak Dita meninggi dan bayi
dalam gendongannya kembali menangis.
“Astaghfirullah! Cukup!” Kupandang
kak Dita tajam. Kuhampiri Ibu yang sejak tadi mendengarkan percakapan kami.
Kulihat airmata menetes di pipinya.
“Bu…, jangan dengarkan
Kak Dita, Bu. Kita akan selalu bersama. Dini janji, Dini akan selalu menemani
Ibu!”
Perlahan Ibu bangkit
dan duduk di tepi balai-balai. Tangannya yang keriput namun hangat menggenggam
jemariku. “Dita benar. Ibu cuma bisa merepotkan…,” suara tua itu terdengar
gemetar.
Aku menggelengkan
kepala dan menatap wajah penuh kasih yang bertahun-tahun membesarkan kami
tanpa pernah mengeluh. Wajah itu kini penuh kerutan. Dua helai rambut putih
keabu-abuan jatuh di atasnya.
Saat itu pintu terbuka
dan Bang Tio masuk dengan wajah masam. “Aku di PHK. Supermarket itu sekarang
ditutup.”
“Assalaamu’alaikum,
Din!” suara riang Rahmi menyentakku dari lamunan. “Kamu gimana sih, Non? Jalan
sambil melamun.”
Aku menjawab salam dan
tersenyum pada wajah cantik, mungil dan tulus di balik jilbab putih itu.
“Mikirin siapa sih?” katanya jenaka. “Aku ya? Soal ulanganku
yang jelek dan malu-maluin para jilbaber lainnya itu…maafin deh. Next time better. I swear!” katanya serius.
Kutatap teman
sebangkuku yang baru genap sebulan ini berjilbab. “Aku buru-buru, Mi! Maaf ya,
angkotnya udah datang tuh!” kuucapkan salam dan berlalu.
Rahmi memandangku
bingung. “Din! Hati-hati!” teriaknya.
Tetapi yang terdengar
di telingaku adalah suara Paman Hadi. “Maaf, Paman tak bisa menolongmu, Din.
Rumah ini terlalu sempit. Bahkan kau saja tidur di kamar pembantu. Lagi pula,
siapa yang akan merawat Ibumu ketika kau pergi sekolah?”
Aku termangu.
Menerawang.
“Ibu sudah tenang di
panti jompo,” suara Bang Tio, Minggu lalu, saat ia baru saja diterima bekerja
sebagai supir di sebuah perusahaan taksi.
“Apa? Mengapa tak
memberitahuku?” tanyaku terkejut.
“Buat apa?” tanya Bang
Tio enteng.
Kepalaku berdenyut.
“Panti jompo yang mana? Di jalan apa?”
“Buat apa kau tahu?”
“Tentu saja aku harus
tahu. Aku anaknya!” seruku gusar.
“Aku, anak kandungnya,
sudah tahu apa yang terbaik baginya. Dan sebagai anak angkat, kau tak perlu
mengusik ketenangan Ibu!” timpal Kak Dita tiba-tiba.
Airmataku menetes.
Suaraku tersekat di kerongkongan. Tanpa sepatah kata pun, saat itu aku berlari
meninggalkan mereka.
Kubenahi jilbabku yang
kurasa miring. Saputangan bola-bola dalam genggamanku telah basah saat aku
turun dari mikrolet dan menyerahkan selembar ribuan pada supir angkot.
Anak angkat. Aku
hampir tak pernah kenal dua kata itu sejak suami istri Harun yang hanya
memiliki seorang anak remaja mengajakku tinggal bersama mereka dengan penuh
kesederhanaan. Waktu itu usiaku baru dua tahun. Bu Harun menemukanku di Pasar.
Menurut Paman Hadi, keluarga Harun berusaha mencari keluargaku, tapi nihil.
Seolah aku memang anak yang tak dikehendaki dan dibuang keluargaku sendiri.
“Betul Dini anak
angkat, Bu?” tanyaku suatu hari, saat aku kelas tiga SD dan Kak Dita baru saja
menikah.
Ibu terkejut. “Siapa
yang berkata seperti itu?”
“Anak-anak Paman
Hadi.”
Ibu menarik napas
panjang.
“Dini tidak mirip
siapa pun. Tidak bapak, tidak Ibu…juga Kak Dita.”
Ibu memijat keningnya
dan meraihku dalam pelukannya. Mengusap-usap rambutku dengan penuh cinta.
“Dini, tahukah engkau, nak…perbedaan antara anak kandung dan anak angkat?”
Aku terdiam, hanya
mendung bergelayutan di mata dan batinku.
Ibu menatapku dalam.
“Anak kandung tumbuh dan dilahirkan dari rahim Ibunya. Tetapi anak angkat
tumbuh dan lahir dari hati Ibunya….”
Saat itu aku membalas
tatapan Ibu dan kurasakan pancaran kasihnya mengalahkan seluruh cahaya yang ada
di dunia.
Kenanganku terhenti.
Di depanku sebuah bangunan mirip asrama dengan plang besar bertuliskan PANTI
WERDHA. Ini adalah panti ke empat dalam minggu ini yang kudatangi.
Aku masuk setelah
mengucap salam, mengisi buku tamu dan menjelaskan maksud kedatanganku. Para
pengurus panti tampak bersimpati.
“Tetapi kami rasa tak
ada wanita tua bernama Bu Asni Harun. Memang dua minggu yang lalu ada seorang
wanita tua yang datang diantar menantunya. Tetapi nama dan ciri-cirinya
berbeda.” Bapak paruh baya pengurus panti membolak balik sebuah buku besar, dan
kemudian memperlihatkan data-data dibukunya padaku.
Aku meneliti dengan
serius. Di sana tertulis nama calon penghuni panti dan orang yang
mengirimkannya. Tak ada Ibu atau nama Bang Tio.
“Mungkin dititipkan di
panti jompo lain.”
“Iya, mungkin di
swasta, yang harus bayar mahal,” timpal pengurus lain.
“Sepertinya tidak,
Pak. Kami orang tak punya. Saya yakin Ibu saya dititipkan di panti werdha milik
pemerintah,” suaraku bergetar saat menyadari Ibu berada di tempat yang sama
dengan para pengemis dan gelandangan tua yang terjaring oleh Dinas Sosial DKI.
“Mungkin di panti
terdekat dari rumah adik?”
Aku menggeleng.
“Mungkin beliau malah berada di panti yang paling jauh dari rumah saya, Pak.”
Ya, aku tahu Bang Tio. Aku tahu arah pikirannya.
“Adik sudah ke panti
mana saja?”
Kusebutkan beberapa
panti milik pemerintah yang telah kukunjungi.
“Berarti hanya ada
satu panti yang belum adik datangi…, tapi tempatnya jauh dari daerah ini.”
Bapak itu segera
menulis alamat panti tersebut. Panti Werdha I, Cipayung, Jakarta Timur. “Ini
adalah panti jompo pertama yang dibangun pemerintah DKI Jakarta. Memang jauh
dari sini.”
Adakah artinya jarak
Ciledug-Cipayung dibandingkan Ibuku? Aku tersenyum, menerima secarik kertas
itu, pamit dan berlalu.
Di halaman panti
sempat kulihat beberapa kakek-nenek sibuk dengan diri mereka masing-masing.
“Cu…, cu…cu…,” seorang
nenek tua berkebaya lusuh tergopoh-gopoh menghampiri dan menjabat tanganku.
Lama sekali.
Aku terpana. “A…apa
kabar, Nek?”
Tawa sang nenek lebar
memamerkan giginya yang nyaris tidak ada.
“Itu…bukan cucu kamu!”
sela nenek yang lain.
“Cu…cuku….”
“Bukan. Itu…cucu
orang!” ledek yang lain lagi.
Sang nenek menatapku
dengan mata berkaca-kaca, lalu ia menepi. Membiarkanku berlalu.
“Assalaamu’alaikum,”
kataku.
Mereka menjawab dengan
suara nyaris tak terdengar. Beberapa hanya komat-kamit. Hatiku miris. Ya Allah,
di manakah Ibuku? Sedang apa ia sekarang?
Tiba-tiba kurasakan
perutku merintih. Aduh, perihnya! Kulirik selembar seribuan dalam saku seragam
sekolahku. Hanya itu ongkosku. Dan sepotong tahu untuk mengganjal perut pun tak
bisa kubeli.
Aku tersenyum getir. Lain kali aku harus lebih sering shaum.
“Kalau makan itu mbok ya jangan
banyak-banyak. Yang lain nanti nggak kebagian.”
Aku menunduk.
Kurasakan lirikan tajam istri Paman Hadi yang duduk tak jauh dariku.
“Ayo, Nia, Iin…ambil
lauknya! Nanti keburu ludes lagi!” Suara ketus itu menusuk-nusuk batinku. Ya,
sejak dulu. Namun tusukan kali ini kurasa lebih menghujam.
“Sudah toh, Bu. Lauknya kan
masih ada,” suara Paman Hadi sabar.
Lagi-lagi aku cuma
menunduk saat tatapan sinis Nia dan Iin singgah di hadapanku. Aku segera
menyelesaikan makan dan bergegas meninggalkan ruang makan.
“Bagaimana sekolahmu?”
tanya Paman tiba-tiba.
“Baik, Paman.”
‘Rajin-rajinlah
belajar. Paman cuma bisa….”
“Pamanmu cuma bisa
menyekolahkan dan memberi tumpangan sampai kamu tamat SMA. Setelah itu kamu
harus pergi,” sambar Bibi pedas. “Tahu sendiri kan sekarang ini lagi krisis!”
Aku menahan tangis dan
berlari ke kamarku. Sayup-sayup kutangkap suara Paman Hadi menasehati Bibi. Aku
ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat Isya.
Allah, aku butuh
belaianMu. Sungguh! Selalu!
“Ceritakan padaku,
Din. Aku kan saudaramu,” desak Rahmi membuyarkan lamunanku saat bel istirahat
baru saja berdentang.
“Apa yang harus
kuceritakan, Mi?”
“Kemurunganmu,
harapanmu…apa saja yang mengganggumu akhir-akhir ini.”
Aku tersenyum.
“Makasih, Mi. Aku nggak apa-apa kok,” elakku.
“Ibumu sudah ketemu?”
Aku terbelalak.
Bola mata Rahmi yang
kecoklatan ikut-ikutan membesar.
“Darimana kamu tahu,
Mi?”
“Aku telpon ke
rumahmu. Anak Paman Hadi bilang….”
Anak-anak Paman Hadi
lagi!
“Aku ikut sedih,” ujar
Rahmi pelan.
“Aku harus ke
Cipayung. Entah di mana itu. Katanya dekat Taman Mini. Mungkin….”
“Aku ikut!”
“Tapi….”
“Aku ikut! Demi
ukhuwah Islamiyyah!” ajuknya lucu.
“Tapi…perjalanan ke
sana bisa dua jam, Mi. Ongkosnya juga nggak sedikit!” seruku.
Rahmi tersenyum dan
mengeluarkan dompet barunya. “Dompetku sekarang sudah lebih besar. Seperti juga
isinya.”
Aku tahu ia bercanda. Rahmi bukan anak orbek (orang
beken) atau orang kaya, tetapi ia suka menulis cerita di majalah anak-anak dan
punya uang saku sendiri.
“Boleh kan?” desaknya
sekali lagi.
Aku mengangguk. Haru.
“Insya Allah besok kita berangkat,” ujarku pelan sambil merapikan buku untuk
pelajaran selanjutnya.
Setelah menempuh
perjalanan lebih dari dua jam, dari Garuda kami masih harus naik angkutan KWK
02 menuju Jalan Bina Marga, Cipayung. Sepanjang perjalanan hatiku resah.
Bagaimana kalau Ibu
tak di sana?
“Stop, Bang! Itu
pantinya! Din, ayo turun, sudah sampai!” seru Rahmi.
Aku terkejut. Dadaku
berdetak keras. Ya Allah, mudah-mudahan Ibu ada di sana.
Setelah turun dan
membayar ongkos angkot, kami bergegas masuk.
“Ibu Asni Harun?”
pengurus panti di hadapanku tampak berpikir keras. Seperti juga para pengurus
panti yang kudatangi sebelumnya ia mengambil sebuah buku besar dan membolak
baliknya beberapa saat.
“Ada seorang Ibu
dengan ciri-ciri seperti yang adik bilang. Kurus, putih, dengan tahi lalat di
pipi. Ia baru masuk sekitar dua minggu ini…, namun kami memanggilnya Ibu Dini.
Ya, begitu. Ia bilang Dini itu nama anak yang sangat ia sayangi jadi ia lebih
suka….”
Dadaku membuncah.
Tiba-tiba keyakinanku kian kuat. Itu Ibu!
“Antarkan saja kami
kepada Ibu Dini, Pak,” sela Rahmi.
“Tunggu. Ini dia. Kami
menemukan nenek ini, Bu Dini, tanpa identitas diri, dua minggu lalu. Ia
terisak-isak di depan panti. Seorang Kakek yang kebetulan berada di luar
mengatakan ada seorang lelaki yang mendorongnya keluar dari taksi, dan
meninggalkannya begitu saja di depan panti.”
Aku tersentak.
“Bu Dini tak pernah
cerita apa pun pada kami, juga tentang siapa yang dengan tega mendorongnya
keluar dari mobil. Ia cuma menyebut namanya: Bu Dini. Itu saja.”
Airmataku mulai
menderas. Kuhapus kuat-kuat.
“Bisa mengantarkan
kami sekarang, Pak?” desak Rahmi lagi.
Petugas panti itu
mengangguk cepat.
Aku dan Rahmi masuk
melewati kamar-kamar dengan banyak tempat tidur. Persis asrama. Di mana-mana
kulihat banyak perempuan jompo lalu lalang. Ada juga yang hanya terbaring di
tempat tidur.
“Tempat para nenek dan
kakek terpisah,” kata Bapak pengurus itu. “Nah, itu kamar Bu Dini, yang paling
ujung.”
Aku masuk melewati
pintu kamar yang terbuka lebar. Ada sekitar …sepuluh orang dalam ruangan.
Mataku mencari-cari dengan teliti. Beberapa nenek balas menatapku dan Rahmi
dengan penuh tanda tanya.
“Nggak ada Ibu di
sini, Mi,” ujarku pelan.
“Lihat baik-baik,
Din….”
“Nggak ada.”
Tiba-tiba, seseorang
keluar dari kamar mandi dalam ruangan itu. Napasku seakan berhenti karena
kegirangan dan perih yang membaur.
“Ibuuuuuuuu!” aku
menghambur memeluk perempuan ringkih yang tampak agak bungkuk itu.
Ibu menatapku
lekat-lekat, kemudian mengucek kedua matanya, memastikan ia tak salah lihat.
“Din…Di…ni? Ya…Allah, Ya Rasul, kamu…Di…ni?”
“Iya, bu. Ini Dini.
Dini sayang Ibu. Cinta Ibu selamanya…,” seruku terisak.
Di depan pintu sempat
kulihat Rahmi menghapus setitik airmatanya yang jatuh. Sementara beberapa nenek
memandang kami dengan tatapan haru. Lalu entah siapa yang memulai kulihat para
nenek itu bertepuk tangan! Aku jadi tersenyum. Terenyuh dalam genangan airmata.
“Mengapa Bang Tio
mendorong Ibu dari taksinya?” tanyaku setelah kami melepas rindu.
Pandangan Ibu kosong
ke depan. “Karena…Ibu tak…mau di…sini…”
Aku merasa sebuah batu
besar diletakkan di punggungku, namun sedikit pun aku tak mampu bergerak,
apalagi mengangkatnya.
Sore itu aku dan Rahmi
berusaha menghibur Ibu. Ibu sering mencoba tersenyum, tetapi kurasakan luka
yang menganga dalam dirinya.
“Dini akan
sering-sering datang, Bu.”
“Ndak usah. Ongkosmu darimana?
Ibu…baik kok.”
Hatiku kembali
tersayat-sayat.
Sepanjang perjalanan
pulang, Aku dan Rahmi lebih banyak diam. Sungguh, pikiranku buntu. Di satu sisi
aku tak rela Ibu berada di panti itu, di sisi lain tak ada tindakan yang bisa
kulakukan untuk mengeluarkannya dari sana.
“Sabar ya, Din.
Yakinlah, pertolongan Allah akan segera tiba,” suara Rahmi lirih saat kami
berpisah di jalan.
Aku hanya bisa
mengucapkan terimakasih. Juga ketika keesokan harinya Rahmi menyerahkan uang
honor menulisnya untukku. Kemudian keesokan harinya, dan esok-esok yang
lainnya, hingga aku selalu bisa mengunjungi Ibu dan bercengkrama dengan
teman-teman jompo Ibu yang juga rindu akan kasih sayang.
“Jazakillah ya, Mi,” kataku
hampir setiap saat pada Rahmi.
“Aku yang jazakillah dong!”
elaknya.
“Lho, kok?”
“Iya. Karena kamu dan Ibumu aku jadi penulis produktif yang kini
mulai diperhitungkan,” katanya pura-pura bangga. “Dan kenalan nenek-nenekku
jadi bejibun,” tambahnya cekikikan.
“Andai aku bisa
kreatif seperti kamu ya, Mi….”
“Hus, ndak boleh berandai-andai.
Kamu juga kreatif kok. Setiap manusia kan khas, unik. Coba kamu pikir, insya Allah ada sesuatu yang bisa kau lakukan
untuk menambah penghasilan.”
Lama kupikirkan
tantangan Rahmi.
Akhirnya aku
memberanikan diri mulai membuat keripik singkong pedas yang kujual sendiri di
sekolah dan dititipkan di warung-warung. Ternyata hasilnya lumayan dan bisa
ditabung. Bahkan pernah kusisihkan uang untuk membeli susu bagi keponakanku.
Namun sambutan Kak Dita dingin. Ia juga enggan bicara soal Ibu, atau soal apa
pun padaku. Buntut-buntutnya ia tak mau aku sering datang ke rumahnya. Katanya
ia takut suaminya marah! Sungguh aku tak mengerti, apalagi saat aku berkunjung
ke panti sering kulihat tatapan mata tua Ibu merindukan kehadiran Kak Dita dan
cucu-cucunya.
Hari ini setelah
pengumuman kelulusan, aku dan Rahmi kembali menjenguk Ibu dan mengabarkan
berita gembira itu padanya. Saat itu juga Ibu menyampaikan kabar tersebut pada
teman-temannya yang lain. Aku melongo ketika satu persatu nenek di kamar besar
itu tertatih tatih menyalamiku sambil tersenyum lebar dan manggut-manggut.
“Din, kamu dipanggil
pengurus panti tuh,” kata Rahmi tiba-tiba.
Alisku terangkat.
Segera aku bangkit dan menghampiri bapak pengurus panti yang kemudian membawaku
ke ruangan pimpinan panti.
“Ada apa, Pak?”
“Tidak apa. Tempo hari
Dik Rahmi bilang Dik Dini ingin tahu tentang orang-orang yang bekerja di
sini?”
Aku tersenyum. “Iya,
Pak. Waktu itu saya pikir, bila saya lulus mungkin saya bisa bantu-bantu di
sini. Memasak, menyapu, merawat, apa saja.”
“Kebetulan di sini
memang ada beberapa pekerja. Ada yang lulusan keperawatan tapi ada juga tenaga
honorer yang lulusan SD seperti Ibu Sri yang tukang masak itu. Kalau Dik Dini
mau, mungkin kami bisa menerima adik untuk bekerja di sini. Mungkin membantu
merawat atau administrasi? Tapi…terus terang, gajinya tak seberapa.”
Hatiku
melonjak-lonjak. “Tak peduli gaji kecil asalkan saya…bisa tinggal di sini,
Pak?’
“Tentu saja. Itu bisa
diatur. Dik Rahmi sudah mengusulkan hal itu pada kami.”
Aku tak menyangka sama
sekali!
“Lagi pula nenek-nenek
di sini juga sudah terlanjur sayang sama Dik Dini,” timpal pengurus yang lain.
Aku tersenyum bahagia.
Satu persatu buliran bening itu jatuh di pipiku. Apalagi saat kuingat perkataan
Ibu beberapa waktu lalu.
“Ibu…punya rahasia….”
“Apa, Bu?”
“Ibu juga…dulu
anak…angkat.”
“Apa? Yang benar?”
“Ibu dibuang di rumah
sakit. Kakekmu yang memungut Ibu….”
Aku ternganga.
“Dan…Ibu tak
percaya…harus dibuang…lagi ketika tua….”
Kuusap airmataku
kembali dan keluar dari ruangan pengurus panti dengan langkah mantap. Dari
kejauhan kulambaikan tangan pada Ibu dan Rahmi. Kucium Ibu. Kubisikkan sesuatu
hingga kulihat senyum lebarnya menjelma kembali seperti dulu, saat kami semua
masih bersama.
“Aku cinta Ibu,
selamanya…, Ibu tak akan sendiri.”
Ibu memelukku erat.
“Selamat ya, Din…karena kamu jadi penghuni panti yang paling
muda dan cantik…, dan berarti aku nggak harus nyariin kamu
calon suami buru-buru kan?”
“Rahmi!” Kupelototi
dia, kukelitik pinggangnya. Ia berlari, kukejar. Dengan lincah ia menyelinap di
antara tempat tidur para nenek, dan berlindung di balik badan gemuk salah
seorang dari orangtua itu. Nenek-nenek yang lain terpingkal-pingkal melihat
kami.
Kutatap wajah mentari
Rahmi, saudara seimanku itu. Seperti aku tumbuh di hati Ibu, ia pun telah
berada di kalbuku. Dengan cinta, selamanya.
***
Helvy Tiana Rosa, Cipayung, 2000
Dari sastrahelvy.com
No comments:
Post a Comment