Wednesday, October 16, 2019

MENGANALISIS PESAN DAN MENYUSUN ULASAN TERHADAP PESAN


Menganalisis Pesan dari Satu Buku Fiksi yang Dibaca

Buku fiksi merupakan buku atau karya sastra hasil imajinasi pengarang. Setiap karya sastra, baik yang berupa puisi, prosa, maupun drama tentu memunyai tujuan untuk menyampaikan suatu pelajaran atau nilai berharga kepada pendengar atau pembacanya. 
Kalian dapat membaca contoh cerita fiksi di sini: Selamanya Cinta
Salah satu karya sastra berbentuk prosa adalah cerpen. Terdapat banyak sekali nilai yang dapat disampaikan melalui cerpen; baik kemanusiaan, moral, budaya, sosial maupun nilai lainnya, misalnya menghormati orang lain, memerhatikan orang-orang yang terpinggirkan, mencintai, flora dan fauna, dan lain-lain.
Istilah sastra, pelajaran atau nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pendengar atau pembacanya itu disebut amanat. Amanat merupakan salah satu unsur pokok yang membangun karya sastra dari dari dalam karya sastra itu sendiri (unsur instrinsik).
Untuk mengetahui unsur apa saja yang terdapat dalam cerita fiksi, simaklah video berikut:  Mengenali Unsur Pembangun Cerita Fiksi

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Karena itu, pesan moral tentu isinya berupa nilai-nilai yang baik sehingga pembaca bisa menjadikannya sebagai teladan atau contoh pembelajaran hidup. Biasanya, pesan atau amanat bisa ditelusuri melalui percakapan dan tindakan berbagai tokoh dalam cerita tersebut. 
Nilai-nilai yang terkandung dalam suatu cerpen dapat dicari dan diidentifikasikan dari kalimat-kalimat yang dituliskan oleh penulis. Cara lain adalah dengan mencermati dialog antar tokoh yang ada dalam cerita, atau menyelesaikan masalah, dan lain-lain.
Pengarang biasanya menyuarakan pesan-pesan moral dan pesan lainnya melalui dialog atau pemikiran tokoh. Peran tokoh yang digunakan sebagai media biasanya adalah tokoh utama. Namun, karena cerpen jarang menggunakan tokoh tambahan, maka tokoh yang ada dalam cerita itulah tokoh utamanya.
Identifikasi nilai yang terkandung dalam cerpen juga bisa dilihat dari alurnya. Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang menyusun alur, pembaca dapat menemukan secara implisit nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Macam-macam amanat:
1.      Tersurat, diartikan sebagai amanat atau pesan yang secara jelas atau eksplisit diuraikan dari kata-kata sebuah tulisan.
2.      Tersirat, merupakan kebalikan dari amanat tersurat. Amanat/ pesan yang secara sengaja tidak dijelaskan atau dijabarkan secara tertulis di sebuah karya, tetapi pembaca dapat mengetahuinya melalui alur/jalan cerita yang ada dalam tulisan tersebut. Sehingga amanat tersirat sifatnya implisit atau tersembunyi.
Ciri-ciri amanat:
1.      Secara implisit (tersirat), amanat disampaikan dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir.
2.      Secara eksplisit (tersurat) yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita

            Beberapa bentuk nilai-nilai sebagai pesan/amanat cerpen yang dapat digunakan sebagai pembelajaran hidup, misalnya nilai moral, budaya, sosial, religi/agama, dan lain-lain.
1.      Nilai religius/keagamaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan ibadah, kepercayaan, atau unsur keTuhanan.
2.      Nilai moral adalah nilai yang berhubungan dengan perbuatan baik atau buruk, etika, dan budi pekerti.
3.      Nilai sosial adalah nilai yang berhubungan dengan norma dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya, suka menolong atau membantu.
4.      Nilai budaya adalah sesuatu yang  berhubungan dengan adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat.
5.      Nilai estetika,  Dra. Astini kusmiati mendefinisikan bahwa estetika adalah kondisi yang berkaitan dengan sensasi keindahan yang dirasakan seseorang tetapi rasa keindahan tersebut baru akan dirasakan apabila terjalin perpaduan yang harmonis dari elemen elemen keindahan yang terkandung pada suatu objek.

Contoh nilai-nilai yang ditemukan dalam cerpen melalui pesan/amanatnya sebagai berikut:

Kutipan
Nilai
Pesan/Amanat
“Walau apa katamu terhadapku, walau kaucaci maki aku, kau kutuki aku, aku terima. Tapi, untuk membiarkan Masri dan Arni hidup sebagai suami istri, padahal Tuhan melarangnya, o...o...o..., itu telah melanggar prinsip hidup setiap orang yang percaya pada-Nya. Kau memang telah berbuat sesuatu yang benar sebagai ibu yang mau memelihara kebahagiaan anaknya. Tapi, ada lagi kebenaran yang lebih mutlak yang tak bisa ditawar-tawar lagi, yakni kebenaran yang dikatakan Tuhan dalam kitab-Nya. Prinsip hidup setiap orang yang menjunjung kebenaran Tuhan.”
(Kemarau, A.A. Navis)

Nilai Religius
Setiap manusia harus memegang prinsip sesuai dengan ajaran agama.
Pak, pohon pepaya di pekaranganku telah dirobohkan dengan semena-mena. Tidakkah sepatutnya hal itu kulaporkan? Itu benar, tapi jangan melebih-lebihkan. Ingat, yang harus diutamakan ialah kerukunan kampung. Soal kecil yang dibesar-besarkan bisa mengakibatkan  kericuhan dalam kampung. Setiap soal mesti diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh main seruduk. Masih ingatkah kau pada peristiwa Dullah dan Bidin tempo hari? Hanya karena soal dua kilo beras, seorang kehilangan nyawa dan yang lain meringkuk di penjara.
(Gerhana, Muhammad Ali)

Nilai Moral
Sebagai makhluk sosial dan hidup bermasyarakat sebaiknya menghindari perbuatan membesar-besarkan persoalan yang kecil sehingga berakibat fatal.
Jalan keluar yang lain, menurut pikiran Badri, ialah kawin dengan seorang gadis yang punya pekerjaan. Yang lebih baik ialah yang jadi pegawai negeri sebab pegawai negeri lebih banyak memunyai keringanan tugas dibanding dengan pegwai swasta. Pegawai negeri yang terbaik untuk dijadikan istri adalah Pendidik sekolah karena terlatih dengan hidup yang sangat sederhana.
 
Nilai Sosial
Kriteria memilih gadis yang tepat untuk dijadikan sebagai teman hidup (istri)
Di sinilah terjadi perbuatan yang menyesatkan. Namun, Monang bertanggung jawab dan akan mengawininya. Dan kenyataannya lain. Ibu Monang telah menjodohkannya dengan gadis Batak pilihan ibunya. Monang sendiri tak kuasa menolaknya. Ia kawin dengan gadis pilihan ibunya. Sementara itu, janin yang dikandung Manen mengalami kelainan, bayi itu akan lahir cacat.
(Raumanen, Marianne Katoppo)

Nilai Budaya
Seorang laki-laki harus memiliki prinsip tentang perjodohan, karena hal tersebut menyangkut keberlangsungan rumah tangganya.
Penggalan teks cerpen dikutip dari buku Mandiri, Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI, Erlangga)


Sebelum melanjutkan materi, kita simak dulu cerita menarik berikut:






Menyusun Ulasan
Ulasan adalah tulisan kritis yang disusun berdasarkan hasil penilaian, pengamatan, pertimbangan, dan pemeriksaan secara terperinci terhadap suatu karya baik fiksi maupun nonfiksi seperti, buku, novel, puisi, cerpen, film, musik, dan sebagainya.

Ulasan dalam pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk menyajikan informasi menyeluruh tentang sebuah karya sastra juga memengaruhi penikmat karya untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh tentang layak tidaknya sebuah karya sastra.

Ulasan juga dapat disebut review. Ulasan pada umumnya ditulis dalam bentuk narasi. Ulasan berfungsi untuk menimbang, menilai, dan mengajukan kritik terhadap karya atau peristiwa yang diulas.

Ciri-ciri teks ulasan sebagai berikut.
1. Strukturnya terdiri dari orientasi, tafsiran, evaluasi, dan rangkuman.
2. Berisi pandangan atau opini penulis mengenai suatu hasil karya.
3. Opini yang ditulis berdasarkan kenyataan atau fakta.
4. Teks ulasan disebut juga ulasan.

Jenis Jenis Teks Ulasan
Berdasarkan isinya teks ulasan dapat dibagi menjadi tiga.

1.      Teks Ulasan Informatif
Teks ulasan informatif biasanya berisi mengenai gambaran singkat, padat, dan umum suatu karya. Ulasan ini hanya memaparkan bagian yang penting saja dan menekankan pada kelebihan dan kekurangan sebuah karya yang diulas.
2.      Teks Ulasan Deskriptif
Teks ulasan deskriptif berisi gambaran terperinci pada tiap bagian suatu karya. Pada umumnya ulasan deskriptif dilakukan pada karya fiksi untuk mendapatkan gambaran jelas tentang manfaat, pentingnya informasi, dan kekuatan argumentatif yang dituangkan penulis dalam membuat sebuah karya.
3.      Teks Ulasan Kritis
Teks ulasan kritis merupakan teks ulasan yang berisi tentang ulasan terperinci suatu karya sastra dengan mengacu pada metode atau pendekatan ilmu pengetahuan tertentu. Teks ulasan ini dibuat secara objektif dan kritis bukan pandangan pembuat ulasan tersebut.
Karakteristik Teks Ulasan
1.      Fungsi Teks Ulasan
a)      Memberikan informasi kepada pembaca tentang sudut pandang penulis terhadap suatu hasil karya.
b)      Menginformasikan kepada masyarakat tentang kelayakan yang dimiliki suatu hasil karya.
c)      Menginformasikan kepada pembaca untuk mengetahui isi atau kritikan terhadap suatu hasil karya.
d)     Menginformasikan kelebihan dan kekurangan suatu hasil karya.
e)      Menginformasikan kepada pembaca perbandingan sebuah karya dengan karya lain yang sejenis.
f)       Mengajak pembaca berdiskusi mengenai masalah yang terdapat dalam suatu hasil karya.
g)      Menyampaiakan saran kepada pembaca apakah suatu hasil karya pantas untuk dinikmati atau tidak.
h)      Agar pembaca mudah untuk memahami hubungan antara suatu hasil karya dengan karya lain yang sejenis.
i)        Sebagai pertimbangan bagi para pembaca agar tidak salah dalam membeli suatu hasil karya.

2.      Struktur Teks Ulasan
Berikut ini adalah bagian-bagian yang terdapat dalam teks ulasan:
a)      Orientasi
Bagian orientasi merupakan bagian pertama dalam teks ulasan. Pada bagian ini, terdapat gambaran umum tentang suatu hasil karya, baik itu film, buku, ataupun drama. Dengan kata lain, penulis teks ulasan berusaha menyampaikan sedikit latar belakang tentang apa yang akan dibahas kepada pembaca.
b)     Tafsiran
Setelah bagian orientasi, berikutnya adalah bagian tafsiran. Pada bagian ini, sebuah hasil karya akan dibahas secara terperinci (detail). Mulai dari bagian-bagiannya, kelebihan, kekurangan, kualitas karya, dan lain sebagainya.
c)      Evaluasi
Evaluasi berisi pandangan dari pengulas mengenai produk barang maupun jasa, karya, atau kegiatan yang diulas. Hal ini dilakukan setelah melakukan tafsiran yang cukup terhadap hasil karya tersebut. Pada bagian ini akan disebutkan bagian yang bernilai (kelebihan) atau bagian yang kurang bernilai (kekurangan) dari suatu produk barang maupun jasa, karya, atau kegiatan yang diulas..
d)     Rangkuman
Rangkuman berisi kesimpulan dari ulasan terhadap produk barang maupun jasa, karya, atau kegiatan yang diulas. Bagian ini juga memuat komentar penulis apakah hasil karya tersebut bernilai/berkualitas untuk dibeli, digunakan, dinikmati, dibaca, atau ditonton/disaksikan. Kemunculan bagian rangkuman ini dalam teks ulasan bersifat opsional.

3.      Kaidah Kebahasaan Teks Ulasan
Kaidah kebahasaan teks ulasan adalah sebagai berikut:
a)      Isi teks ulasan umumnya menonjolkan unsur-unsur karya seni.
b)      Menggunakan kalimat opini, yang sifatnya persuasif atau menghasut orang.
c)      Menggunakan kalimat perbandingan, mengungkapkan persamaan dan juga perbedaan. Contoh: daripada, sebagaimana, demikian halnya, berbeda dengan, seperti, seperti halnya, serupa dengan, dan sebagainya.
d)     Menggunakan kata kerja material dan kata kerja rasional.
1)       Kata kerja material, yaitu kata kerja yang menyatakan kegiatan fisik/proses. contoh: berbicara, mendengarkan, membaca, menulis, berdiskusi, dan lainnya.
2)      Kata kerja rasional kopulatif, yaitu kata kerja yang berfungsi menggabungkan kata dan kalimat setara. Contoh bernama, disebut, jadi/menjadi, meruapakan, adalah, ialah, yaitu, yakni, dan sebagainya.
3)      Kata kerja rasional, yaitu kata kerja yang berfungsi sebagai kata bantu. Contoh: jadi, mungkin, boleh, harap, bisa, hendak/ingin/mau/akan, dapat/bisa, ada, dan lainnya.
e)      Menggunakan kata penghubung (konjungsi), baik itu konjungsi internal dan konjungsi eksternal.
1)      Konjungsi internal (intrakalimat), konjungsi yang menghubungkan dua argumen/gagasan/ide dalam kalimat simpleks atau dua kelompok klausa.
·         Penambahan/kesejajaran, contoh: dan, atau, serta.
·         Menyatakan waktu, contoh: setelah, sesudah, ketika, saat.
·         Menyatakan perbandingan, contoh: tetapi, melainkan, sedangkan, tidak hanya, tetapi juga, bukan saja/hanya...., melainkan juga....
·         Menyatakan sebab-akibat, contoh: sebab, akibat, sehingga, jika, karena, apabila, bilamana, jikalau.

2)      Konjungsi eksternal (antarkalimat), konjungsi yang menghubungkan dua peristiwa/deskripsi hal/benda dalam kalimat kompleks atau 2 kalimat simpleks.konjungsi ini juga dibedakan atas 4 kategori makna hubungan.
·         Penambahan/kesejajaran, yaitu konjungsi lebih lanjut, di samping itu, selain itu;
·         Menyatakan waktu/temporal, yaitu pertama, kedua, ketiga, mula-mula, lalu, kemudian, berikutnya, selanjutnya, akhirnya ;
·         Menyatakan perbandingan, yaitu sebaliknya, akan tetapi, sementara itu, di sisi lain, namun, namun demikian, walaupun demikian/begitu, dan sebagainya ;
·         Menyatakan sebab-akibat, yaitu oleh karena itu, akibatnya, hasilnya, jadi, sebagai akibat, maka, dan sebagainya. Terdapat 4 kategori makna hubungan.
Langkah-langkah membuat ulasan pesan sebagai berikut.
1.      Membaca teks
2.      Mengidentifikasi jenis teks
3.      Menentukan amanat yang disampaikan

Tuesday, October 15, 2019

Menulis Teks Eksplanasi

STRUKTUR TEKS EKSPLANASI

Struktur merupakan tata urutan penulisan teks yang mencerminkan pola berpikir dalam penulisan sebuah teks. NSW Department of School Education (1993:16) Memaparkan bahwa struktur teks eksplanasi terdiri atas “1) a general Statement to position the reader, 2) then sequenced explanation of why/ how something occurs (usually a series of logical steps in the process).” Mengacu pada paparan tersebut, struktur teks eksplanasi terdiri atas: 1) pernyataan umum untuk memperkenalkan pembaca pada materi; 2) urutan penjelasan mengenai mengapa atau bagaimana sesuatu terjadi. Urutan penjelasan tersebut disajikan dalam bentuk tahapan proses yang logis.

Melengkapi pendapat NSW Department of Education, Whitfield (2001:4) memaparkan struktur teks eksplanasi terdiri atas “1) a statement regarding what is to be explained; 2) a sequence to state how or why it happens; 3) an optional concluding statement which refer back to the original statement or purpose.” Berdasarkan pendapat tersebut, struktur teks eksplanasi terdiri atas 1) pernyataan tentang sesuatu yang akan dijelaskan; 2) urutan penjelasan tentang bagaimana dan mengapa sesuatu terjadi; 3) simpulan yang bersifat opsional yang mengacu pada pernyataan umum atau tujuan. Teks eksplanasi merupakan teks yang memaparkan mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi disertai simpulan yang mengacu pada pernyataan umum atau tujuan penulisan teks. Simpulan ini bersifat opsional sehingga tidak harus ada dalam teks.

Sependapat dengan Whitfield, Anderson dan Anderson (2003:82) menjelaskan bahwa “the steps for constructing a written explanation text are: 1) general statement about the event or thing, 2) a series of paragraph that tell the how or why, 3) a concluding paragraph.” Berdasarkan penjelasan tersebut, struktur teks eksplanasi terdiri atas tiga bagian, yaitu 1) pernyataan pengantar (general statement about the event or thing), 2) serangkaian penjelasan/eksplanasi (a series of paragraph that tell the how or why), dan 3) simpulan atau konklusi teks (a concluding paragraph). Selain berisi paparan tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa dapat terjadi, teks eksplanasi juga berisi simpulan atau tanggapan dari penulis teks. Simpulan atau tanggapan ini merupakan sikap dan saran penulis teks terhadap peristiwa atau fenomena yang dijelaskan dalam teks eksplanasi.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa struktur teks eksplanasi terdiri atas 1) pernyataan umum; 2) deretan penjelas; 3) simpulan atau konklusi.

1. Pernyataan Umum 
Pernyataan umum merupakan bagian struktur teks eksplanasi yang berisi deskripsi umum mengenai sesuatu yang akan dipaparkan dalam teks eksplanasi. Berikut ini adalah contoh pernyataan umum dalam teks eksplanasi.

Longsor adalah sebuah peristiwa dimana terjadinya gerakan tanah atau biasa disebut geologi yang terjadi karena adanya pergerakan masa batuan / tanah dengan berbagai tipe dan jenis seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Tanah longsor atau amblas secara garis besar bisa terjadi karena dua faktor yaitu faktor pendorong dan faktor pemicu. Faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi kondisi material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor penyebab bergeraknya material tersebut.

2. Deretan Penjelas
Deretan penjelas merupakan bagian struktur teks eksplanasi yang berisi bagaimana dan mengapa sesuatu atau peristiwa dapat terjadi. Hal-hal yang ada dalam deretan penjelas disampaikan dengan hubungan sebab-akibat. Berikut adalah contoh deretan penjelas teks eksplanasi.

Di Indonesia peristiwa ini hampir sering terjadi. Kebanyakan disebabkan oleh gempa sehingga menggerakkan lempeng bawah tanah sehingga mengakibatkan elemen atau lempeng bawah permukaan menjadi tergeser sehingga menimbulkan pecahan dan terjadinya longsor. Ada banyak hal lagi yang bisa memicu dan menyebabkan terjadinya longsor. Baik itu diakibatkan oleh alam atau karena ulah manusia itu sendiri, diantaranya Tingginya curah hujan, jika musim penghujan dengan durasi lama maka akan terjadi penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Setelah penguapan maka akan muncul pori-pori atau rongga tanah, kemudian terjadi retakan di permukaan, saat hujan air akan menyusup ke bagian yang retak lalu air akan masuk sehingga terakumulasi di bagian dasar lereng, lalu menimbulkan gerakan lateral kemudian terjadilah longsor. Untuk pencegahan terjadinya longsor bisa dengan menggunakan pohon, karena akar pohon akan banyak membantu dengan cara menyerap air hujan sehingga bisa mengurangi kemungkinan terjadinya longsor.

3. Simpulan/Interpretasi
Simpulan atau interpretasi adalah bagian struktur teks eksplanasi yang berisi gagasan yang dapat berupa tanggapan, kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Berikut adalah contoh simpulan atau konklusi teks eksplanasi.

Penjelasan tersebut merupakan beberapa penyebab terjadinya kelongsoran. Akibat dari bencana ini tentu tidak sedikit. Kerugian paling parah adalah korban jiwa, selain itu kerugian materi seperti kehilangan rumah, tanah, harta benda yang harus direlakan karena tertimbun longsor. Sangat jarang orang yang tertimpa longsor bisa menyelamatkan diri karena karena kecepatan tanah longsor diperkirakan kecepatannya bisa mencapai 100 km/jam. Mustahil bagi manusia untuk lari tanpa peralatan. Selain itu setelah kejadian pun korban selamat tidak sedikit akan mengalami trauma yang mendalam. Jika mendengar suara gemuruh besar di dekat anda maka segeralah lari menuju ketempat atau wilayah dataran stabil. Jangan pergi ke pinggir tebing atau jurang curam karena itu sama saja bunuh diri.

Mikail, Mohammad Ilyasa. 2016. Skripsi: Pengembangan Buku Pengayaan Keterampilan Menyusun Secara Tertulis Teks Eksplanasi Bermuatan Pendidikan Multikultural Untuk Peserta Didik SMP. Semarang: UNNES.

Contoh Ulasan Buku Pengayaan (Nonfiksi)


Tips & Trik Jago Main Rubik


Identitas Buku
Judul Buku          : Tips & Trik Jago Main Rubik.
Penulis Buku       : Wicaksono Hadi.
Penerbit Buku     : Gradien Mediatama.
Cetakan                : 1, 2009.
Tebal Buku          : 184 halaman.


Ringkasan buku Tips & Trik Jago Main Rubik
Rubik merupakan permainan puzzle mekanik berbentuk kubus yang mempunyai enam warna yang berbeda pada setiap sisinya. Ditemukan pada tahun 1974 oleh Profesor Erno Rubik.
Profesor Erno Rubik adalah seorang arsitek dan pemahat asal Hungaria. Dengan waktu yang tidak lama, rubik menciptakan sensasi Internasional. Setiap orang ingin memilikinya dan memainkannya. Demam ini menjalar baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Ada sesuatu yang memikat pada kubus kecil ini. Ia mempunyai konsep yang serhana, elegan, namu secara mengejutkan sangat sulit untuk diselesaikan.
Satu demi satu kompetisi lokal diadakan untuk berlomba menyelesaikan permainan rubik. Diantaranya adalah United Kingdom Rubik’s Cube Championship (Desember 1981), American Rubik’s Cube Championship (November 1981), Canada Rubik’s Cube Championship (Maret 1982). Puncaknya adalah pada bulan Juni 1982 untuk pertama kalinya diselenggarakan Rubik’s Cube World Championship di Budapest, dimana orang-orang dari berbagai negara dipertemukan oleh permainan rubik.
Kejuaraan tersebut dimenangkan oleh pelajar Vietnam yang baru berumur 16 tahun dengan catatan waktu hanya 22,95 detik. Suatu prestasi yang luar biasa sekali. Ketertarikan publik pada permainan rubik mulai memudar menjelang tahun 1990-an. Orang-orang sudah terlalu kesal saat mencoba menyelesaikan tapi tak kunjung berhasil.
Sebagian orang lebih tertarik dengan kehadiran video game elektronik pada saat itu. Namun hingga hari ini, lebih dari 30 juta rubik telah terjual, menjadikannya sebagai permainan puzzle terlaris di Dunia sepanjang masa.
Dengan kemunculan internet, rubik akhirnya bangkit. Pada tahun 2000-an, petunjuk untuk dapat menyelesaikan rubik telah banyak ditemukan di internet. Demam rubik pun kembali melanda untuk kedua kalinya. Puncaknya terjadi pada tahun 2003, ketika World Championship kedua yang diadakan di Canada. Rubik dipandang sebagai permainan yang positif, melatih motorik, daya ingat, serta mampu mendorong pemainnya untuk menjalin komunitas dan berkompetisi secara sehat.
Buku ini mempunyai banyak gambar yang menarik, penjelasannya lebih terperinci dan jelas, serta terdapat indeks untuk kata-kata yang sulit dimengerti. Tetapi, masih terdapat beberapa kata yang sulit dimengerti dan tidak terindeks pada bagian indeks.

Monday, October 14, 2019

Cerita Fiksi: Cerpen



Aku melangkah gontai melewati gerbang sekolah. Sejak pelajaran pertama hingga bel pelajaran terakhir berbunyi, pikiranku telah mengembara kemana-mana, hingga akhirnya tiba di satu titik: Ibu.
“Ibu sudah tua, Din. Sebentar lagi umurnya 76 tahun. Ibu sudah mulai pikun, sa­kit-sakitan. Aku ingin yang terbaik buat Ibu, Din!” Suara Kak Dita terngiang terus di kuping­ku.
“Yang terbaik? Untuk Ibu? Dengan membuangnya di panti jompo? Itukah yang terbaik?” jawabku waktu itu.
“Seharusnya kamu juga memahami posisi kakak, Din. Bang Tio cuma seorang satpam di supermarket…, berapa sih gajinya? Anak kami sudah tiga orang. Kamu tahu kan harga susu dan kebutuhan pokok lainnya kini melangit? Dan rumah kontrakan ini? Cuma sepetak, Din! Sepetak yang disekat menjadi dua kamar. Ibu tak bisa di sini lagi, Din!”
Tangis keponakan ketigaku yang belum berusia setahun mengejutkan kami. Kak Dita segera meraihnya dari ayunan dan menggendongnya.
“Dia lapar. Susunya habis. Bahkan untuk membeli kardus kecil pun kadang kami tak bisa.”
Kak Dita meraih segelas air putih, lalu memasukkan sesendok gula, mengaduknya rata dan menyuapkannya pada keponakanku yang lapar.
Aku mengelus dada. Perih menohok dan mataku yang mulai berkabut menelusuri seluruh sudut rumah kayu yang kecil dan kusam ini, lalu terhenti pada balai-balai rapuh tempat Ibu kini terbaring dengan mata menerawang. Aroma sayuran yang baru selesai ditumis, lantai lembab beralas tanah dan bau asap dari kompor minyak tanah yang baru dimatikan menambah pengap ruangan tanpa jendela ini.
Dulu ketika Kak Dita belum menikah, kami bertiga tinggal di rumah sederhana peninggalan Bapak. Tetapi setelah Bapak meninggal karena komplikasi penyakitnya yang telah menahun, rumah tersebut terpaksa dijual untuk membayar utang ke sana kemari. Dalam keadaan kritis seperti itu Bang Tio Pakpahan melamar Kak Dita yang baru saja tamat SMU. Bang Tio membo­yong kami semua ke rumah ini. Tetapi karena keadaan mereka sangat pas-pasan, satu-sa­tu­nya kerabat Bapak: Paman Hadi mengajakku tinggal bersama keluarganya dan menyekolah­kan­ku. Beliau merasa berhutang budi pada bapak, namun hidup beliau sendiri sebenarnya pas-pasan.
“Hampir tiap malam aku dan Bang Tio bertengkar soal Ibu. Ibu bukan cuma pikun dan menyusahkan…tetapi juga terlalu mencampuri urusan kami!” suara Kak Dita lagi. “Aku capek, Din! Pekerjaanku sebagai tukang cuci-seterika masih harus ditambah dengan merawat tiga anak yang masih kecil dan seorang jompo! Tahukah kau betapa lelahnya aku! Itu semua ditambah lagi dengan hubunganku yang tak pernah harmonis dengan suamiku sendiri! Dan itu karena Ibu, Din!” suara Kak Dita meninggi dan bayi dalam gendongannya kembali menangis.
Astaghfirullah! Cukup!” Kupandang kak Dita tajam. Kuhampiri Ibu yang sejak tadi mende­ngar­kan percakapan kami. Kulihat airmata menetes di pipinya.
“Bu…, jangan dengarkan Kak Dita, Bu. Kita akan selalu bersama. Dini janji, Dini akan selalu menemani Ibu!”
Perlahan Ibu bangkit dan duduk di tepi balai-balai. Tangannya yang keriput namun hangat meng­­genggam jemariku. “Dita benar. Ibu cuma bisa merepotkan…,” suara tua itu terdengar gemetar.
Aku menggelengkan kepala dan menatap wajah penuh kasih yang bertahun-tahun membesar­kan kami tanpa pernah mengeluh. Wajah itu kini penuh kerutan. Dua helai rambut putih keabu-abuan jatuh di atasnya.
Saat itu pintu terbuka dan Bang Tio masuk dengan wajah masam. “Aku di PHK. Supermarket itu sekarang ditutup.”



“Assalaamu’alaikum, Din!” suara riang Rahmi menyentakku dari lamunan. “Kamu gimana sih, Non? Jalan sambil melamun.”
Aku menjawab salam dan tersenyum pada wajah cantik, mungil dan tulus di balik jilbab putih itu.
“Mikirin siapa sih?” katanya jenaka. “Aku ya? Soal ulanganku yang jelek dan malu-maluin para jilbaber lainnya itu…maafin deh. Next time better. I swear!” katanya serius.
Kutatap teman sebangkuku yang baru genap sebulan ini berjilbab. “Aku buru-buru, Mi! Maaf ya, angkotnya udah datang tuh!” kuucapkan salam dan berlalu.
Rahmi memandangku bingung. “Din! Hati-hati!” teriaknya.
Tetapi yang terdengar di telingaku adalah suara Paman Hadi. “Maaf, Paman tak bisa menolongmu, Din. Rumah ini terlalu sempit. Bahkan kau saja tidur di kamar pembantu. Lagi pula, siapa yang akan merawat Ibumu ketika kau pergi sekolah?”
Aku termangu. Menerawang.
“Ibu sudah tenang di panti jompo,” suara Bang Tio, Minggu lalu, saat ia baru saja diterima bekerja sebagai supir di sebuah perusahaan taksi.
“Apa? Mengapa tak memberitahuku?” tanyaku terkejut.
“Buat apa?” tanya Bang Tio enteng.
Kepalaku berdenyut. “Panti jompo yang mana? Di jalan apa?”
“Buat apa kau tahu?”
“Tentu saja aku harus tahu. Aku anaknya!” seruku gusar.
“Aku, anak kandungnya, sudah tahu apa yang terbaik baginya. Dan sebagai anak angkat, kau tak perlu mengusik ketenangan Ibu!” timpal Kak Dita tiba-tiba.
Airmataku menetes. Suaraku tersekat di kerongkongan. Tanpa sepatah kata pun, saat itu aku berlari meninggalkan mereka.
Kubenahi jilbabku yang kurasa miring. Saputangan bola-bola dalam genggamanku telah basah saat aku turun dari mikrolet dan menyerahkan selembar ribuan pada supir angkot.
Anak angkat. Aku hampir tak pernah kenal dua kata itu sejak suami istri Harun yang hanya memiliki seorang anak remaja mengajakku tinggal bersama mereka dengan penuh kesederhanaan. Waktu itu usiaku baru dua tahun. Bu Harun menemukanku di Pasar. Menurut Paman Hadi, keluarga Harun berusaha mencari keluargaku, tapi nihil. Seolah aku memang anak yang tak dikehendaki dan dibuang keluargaku sendiri.
“Betul Dini anak angkat, Bu?” tanyaku suatu hari, saat aku kelas tiga SD dan Kak Dita baru saja menikah.
Ibu terkejut. “Siapa yang berkata seperti itu?”
“Anak-anak Paman Hadi.”
Ibu menarik napas panjang.
“Dini tidak mirip siapa pun. Tidak bapak, tidak Ibu…juga Kak Dita.”
Ibu memijat keningnya dan meraihku dalam pelukannya. Mengusap-usap rambutku dengan penuh cinta. “Dini, tahukah engkau, nak…perbedaan antara anak kandung dan anak angkat?”
Aku terdiam, hanya mendung bergelayutan di mata dan batinku.
Ibu menatapku dalam. “Anak kandung tumbuh dan dilahirkan dari rahim Ibunya. Tetapi anak angkat tumbuh dan lahir dari hati Ibunya….”
Saat itu aku membalas tatapan Ibu dan kurasakan pancaran kasihnya mengalahkan seluruh cahaya yang ada di dunia.
Kenanganku terhenti. Di depanku sebuah bangunan mirip asrama dengan plang besar bertuliskan PANTI WERDHA. Ini adalah panti ke empat dalam minggu ini yang kudatangi.
Aku masuk setelah mengucap salam, mengisi buku tamu dan menjelaskan maksud kedatanganku. Para pengurus panti tampak bersimpati.
“Tetapi kami rasa tak ada wanita tua bernama Bu Asni Harun. Memang dua minggu yang lalu ada seorang wanita tua yang datang diantar menantunya. Tetapi nama dan ciri-cirinya berbeda.” Bapak paruh baya pengurus panti membolak balik sebuah buku besar, dan kemudian memperlihatkan data-data dibukunya padaku.
Aku meneliti dengan serius. Di sana tertulis nama calon penghuni panti dan orang yang mengirimkannya. Tak ada Ibu atau nama Bang Tio.
“Mungkin dititipkan di panti jompo lain.”
“Iya, mungkin di swasta, yang harus bayar mahal,” timpal pengurus lain.
“Sepertinya tidak, Pak. Kami orang tak punya. Saya yakin Ibu saya dititipkan di panti werdha milik pemerintah,” suaraku bergetar saat menyadari Ibu berada di tempat yang sama dengan para pengemis dan gelandangan tua yang terjaring oleh Dinas Sosial DKI.
“Mungkin di panti terdekat dari rumah adik?”
Aku menggeleng. “Mungkin beliau malah berada di panti yang paling jauh dari rumah saya, Pak.” Ya, aku tahu Bang Tio. Aku tahu arah pikirannya.
“Adik sudah ke panti mana saja?”
Kusebutkan beberapa panti milik pemerintah yang telah kukunjungi.
“Berarti hanya ada satu panti yang belum adik datangi…, tapi tempatnya jauh dari daerah ini.”
Bapak itu segera menulis alamat panti tersebut. Panti Werdha I, Cipayung, Jakarta Timur. “Ini adalah panti jompo pertama yang dibangun pemerintah DKI Jakarta. Memang jauh dari sini.”
Adakah artinya jarak Ciledug-Cipayung dibandingkan Ibuku? Aku tersenyum, menerima seca­rik kertas itu, pamit dan berlalu.
Di halaman panti sempat kulihat beberapa kakek-nenek sibuk dengan diri mereka masing-masing.
“Cu…, cu…cu…,” seorang nenek tua berkebaya lusuh tergopoh-gopoh menghampiri dan menjabat tanganku. Lama sekali.
Aku terpana. “A…apa kabar, Nek?”
Tawa sang nenek lebar memamerkan giginya yang nyaris tidak ada.
“Itu…bukan cucu kamu!” sela nenek yang lain.
“Cu…cuku….”
“Bukan. Itu…cucu orang!” ledek yang lain lagi.
Sang nenek menatapku dengan mata berkaca-kaca, lalu ia menepi. Membiarkanku berlalu.
“Assalaamu’alaikum,” kataku.
Mereka menjawab dengan suara nyaris tak terdengar. Beberapa hanya komat-kamit. Hatiku miris. Ya Allah, di manakah Ibuku? Sedang apa ia sekarang?
Tiba-tiba kurasakan perutku merintih. Aduh, perihnya! Kulirik selembar seribuan dalam saku seragam sekolahku. Hanya itu ongkosku. Dan sepotong tahu untuk mengganjal perut pun tak bisa kubeli.
Aku tersenyum getir. Lain kali aku harus lebih sering shaum.



“Kalau makan itu mbok ya jangan banyak-banyak. Yang lain nanti nggak kebagian.”
Aku menunduk. Kurasakan lirikan tajam istri Paman Hadi yang duduk tak jauh dariku.
“Ayo, Nia, Iin…ambil lauknya! Nanti keburu ludes lagi!” Suara ketus itu menusuk-nusuk batinku. Ya, sejak dulu. Namun tusukan kali ini kurasa lebih menghujam.
“Sudah toh, Bu. Lauknya kan masih ada,” suara Paman Hadi sabar.
Lagi-lagi aku cuma menunduk saat tatapan sinis Nia dan Iin singgah di hadapanku. Aku segera menyelesaikan makan dan bergegas meninggalkan ruang makan.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Paman tiba-tiba.
“Baik, Paman.”
‘Rajin-rajinlah belajar. Paman cuma bisa….”
“Pamanmu cuma bisa menyekolahkan dan memberi tumpangan sampai kamu tamat SMA. Setelah itu kamu harus pergi,” sambar Bibi pedas. “Tahu sendiri kan sekarang ini lagi krisis!”
Aku menahan tangis dan berlari ke kamarku. Sayup-sayup kutangkap suara Paman Hadi menasehati Bibi. Aku ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat Isya.
Allah, aku butuh belaianMu. Sungguh! Selalu!



“Ceritakan padaku, Din. Aku kan saudaramu,” desak Rahmi membuyarkan lamunanku saat bel istirahat baru saja berdentang.
“Apa yang harus kuceritakan, Mi?”
“Kemurunganmu, harapanmu…apa saja yang mengganggumu akhir-akhir ini.”
Aku tersenyum. “Makasih, Mi. Aku nggak apa-apa kok,” elakku.
“Ibumu sudah ketemu?”
Aku terbelalak.
Bola mata Rahmi yang kecoklatan ikut-ikutan membesar.
“Darimana kamu tahu, Mi?”
“Aku telpon ke rumahmu. Anak Paman Hadi bilang….”
Anak-anak Paman Hadi lagi!
“Aku ikut sedih,” ujar Rahmi pelan.
“Aku harus ke Cipayung. Entah di mana itu. Katanya dekat Taman Mini. Mungkin….”
“Aku ikut!”
“Tapi….”
“Aku ikut! Demi ukhuwah Islamiyyah!” ajuknya lucu.
“Tapi…perjalanan ke sana bisa dua jam, Mi. Ongkosnya juga nggak sedikit!” seruku.
Rahmi tersenyum dan mengeluarkan dompet barunya. “Dompetku sekarang sudah lebih besar. Seperti juga isinya.”
Aku tahu ia bercanda. Rahmi bukan anak orbek (orang beken) atau orang kaya, tetapi ia suka menulis cerita di majalah anak-anak dan punya uang saku sendiri.
“Boleh kan?” desaknya sekali lagi.
Aku mengangguk. Haru. “Insya Allah besok kita berangkat,” ujarku pelan sambil me­ra­pi­kan buku untuk pelajaran selanjutnya.



Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam, dari Garuda kami masih harus naik angkutan KWK 02 menuju Jalan Bina Marga, Cipayung. Sepanjang perjalanan hatiku resah.
Bagaimana kalau Ibu tak di sana?
“Stop, Bang! Itu pantinya! Din, ayo turun, sudah sampai!” seru Rahmi.
Aku terkejut. Dadaku berdetak keras. Ya Allah, mudah-mudahan Ibu ada di sana.
Setelah turun dan membayar ongkos angkot, kami bergegas masuk.
“Ibu Asni Harun?” pengurus panti di hadapanku tampak berpikir keras. Seperti juga para pengurus panti yang kudatangi sebelumnya ia mengambil sebuah buku besar dan membolak baliknya beberapa saat.
“Ada seorang Ibu dengan ciri-ciri seperti yang adik bilang. Kurus, putih, dengan tahi lalat di pipi. Ia baru masuk sekitar dua minggu ini…, namun kami memanggilnya Ibu Dini. Ya, begitu. Ia bilang Dini itu nama anak yang sangat ia sayangi jadi ia lebih suka….”
Dadaku membuncah. Tiba-tiba keyakinanku kian kuat. Itu Ibu!
“Antarkan saja kami kepada Ibu Dini, Pak,” sela Rahmi.
“Tunggu. Ini dia. Kami menemukan nenek ini, Bu Dini, tanpa identitas diri, dua minggu lalu. Ia terisak-isak di depan panti. Seorang Kakek yang kebetulan berada di luar mengatakan ada se­o­rang lelaki yang mendorongnya keluar dari taksi, dan meninggalkannya begitu saja di depan panti.”
Aku tersentak.
“Bu Dini tak pernah cerita apa pun pada kami, juga tentang siapa yang dengan tega mendorongnya keluar dari mobil. Ia cuma menyebut namanya: Bu Dini. Itu saja.”
Airmataku mulai menderas. Kuhapus kuat-kuat.
“Bisa mengantarkan kami sekarang, Pak?” desak Rahmi lagi.
Petugas panti itu mengangguk cepat.
Aku dan Rahmi masuk melewati kamar-kamar dengan banyak tempat tidur. Persis asrama. Di mana-mana kulihat banyak perempuan jompo lalu lalang. Ada juga yang hanya terbaring di tempat tidur.
“Tempat para nenek dan kakek terpisah,” kata Bapak pengurus itu. “Nah, itu kamar Bu Dini, yang paling ujung.”
Aku masuk melewati pintu kamar yang terbuka lebar. Ada sekitar …sepuluh orang dalam ruangan. Mataku mencari-cari dengan teliti. Beberapa nenek balas menatapku dan Rahmi deng­an penuh tanda tanya.
“Nggak ada Ibu di sini, Mi,” ujarku pelan.
“Lihat baik-baik, Din….”
“Nggak ada.”
Tiba-tiba, seseorang keluar dari kamar mandi dalam ruangan itu. Napasku seakan berhenti karena kegirangan dan perih yang membaur.
“Ibuuuuuuuu!” aku menghambur memeluk perempuan ringkih yang tampak agak bungkuk itu.
Ibu menatapku lekat-lekat, kemudian mengucek kedua matanya, memastikan ia tak salah lihat. “Din…Di…ni? Ya…Allah, Ya Rasul, kamu…Di…ni?”
“Iya, bu. Ini Dini. Dini sayang Ibu. Cinta Ibu selamanya…,” seruku terisak.
Di depan pintu sempat kulihat Rahmi menghapus setitik airmatanya yang jatuh. Sementara beberapa nenek memandang kami dengan tatapan haru. Lalu entah siapa yang memulai kulihat para nenek itu bertepuk tangan! Aku jadi tersenyum. Terenyuh dalam genangan airmata.
“Mengapa Bang Tio mendorong Ibu dari taksinya?” tanyaku setelah kami melepas rindu.
Pandangan Ibu kosong ke depan. “Karena…Ibu tak…mau di…sini…”
Aku merasa sebuah batu besar diletakkan di punggungku, namun sedikit pun aku tak mampu bergerak, apalagi mengangkatnya.
Sore itu aku dan Rahmi berusaha menghibur Ibu. Ibu sering mencoba tersenyum, tetapi kurasakan luka yang menganga dalam dirinya.
“Dini akan sering-sering datang, Bu.”
Ndak usah. Ongkosmu darimana? Ibu…baik kok.”
Hatiku kembali tersayat-sayat.
Sepanjang perjalanan pulang, Aku dan Rahmi lebih banyak diam. Sungguh, pikiranku buntu. Di satu sisi aku tak rela Ibu berada di panti itu, di sisi lain tak ada tindakan yang bisa kulakukan untuk mengeluarkannya dari sana.
“Sabar ya, Din. Yakinlah, pertolongan Allah akan segera tiba,” suara Rahmi lirih saat kami berpisah di jalan.
Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih. Juga ketika keesokan harinya Rahmi menye­rah­kan uang honor menulisnya untukku. Kemudian keesokan harinya, dan esok-esok yang lainnya, hingga aku selalu bisa mengunjungi Ibu dan bercengkrama dengan teman-teman jompo Ibu yang juga rindu akan kasih sayang.
Jazakillah ya, Mi,” kataku hampir setiap saat pada Rahmi.
“Aku yang jazakillah dong!” elaknya.
Lho, kok?
“Iya. Karena kamu dan Ibumu aku jadi penulis produktif yang kini mulai diperhitungkan,” katanya pura-pura bangga. “Dan kenalan nenek-nenekku jadi bejibun,” tambahnya cekikikan.
“Andai aku bisa kreatif seperti kamu ya, Mi….”
Hus, ndak boleh berandai-andai. Kamu juga kreatif kok. Setiap manusia kan khas, unik. Coba kamu pikir, insya Allah ada sesuatu yang bisa kau lakukan untuk menambah penghasilan.”
Lama kupikirkan tantangan Rahmi.
Akhirnya aku memberanikan diri mulai membuat ke­ripik singkong pedas yang kujual sendiri di sekolah dan dititipkan di warung-warung. Ternya­ta hasilnya lumayan dan bisa ditabung. Bahkan pernah kusisihkan uang untuk membeli susu bagi keponakanku. Namun sambutan Kak Dita dingin. Ia juga enggan bicara soal Ibu, atau soal apa pun padaku. Buntut-buntutnya ia tak mau aku sering datang ke rumahnya. Katanya ia takut suaminya marah! Sungguh aku tak mengerti, apalagi saat aku berkunjung ke panti sering kulihat tatapan mata tua Ibu merindukan kehadiran Kak Dita dan cucu-cucunya.


Hari ini setelah pengumuman kelulusan, aku dan Rahmi kembali menjenguk Ibu dan menga­barkan berita gembira itu padanya. Saat itu juga Ibu menyampaikan kabar tersebut pada teman-temannya yang lain. Aku melongo ketika satu persatu nenek di kamar besar itu tertatih tatih menyalamiku sambil tersenyum lebar dan manggut-manggut.
“Din, kamu dipanggil pengurus panti tuh,” kata Rahmi tiba-tiba.
Alisku terangkat. Segera aku bangkit dan menghampiri bapak pengurus panti yang kemudian membawaku ke ruangan pimpinan panti.
“Ada apa, Pak?”
“Tidak apa. Tempo hari Dik Rahmi bilang Dik Dini ingin tahu tentang orang-orang yang be­­ker­ja di sini?”
Aku tersenyum. “Iya, Pak. Waktu itu saya pikir, bila saya lulus mungkin saya bisa bantu-bantu di sini. Memasak, menyapu, merawat, apa saja.”
“Kebetulan di sini memang ada beberapa pekerja. Ada yang lulusan keperawatan tapi ada juga tenaga honorer yang lulusan SD seperti Ibu Sri yang tukang masak itu. Kalau Dik Dini mau, mungkin kami bisa menerima adik untuk bekerja di sini. Mungkin membantu merawat atau administrasi? Tapi…terus terang, gajinya tak seberapa.”
Hatiku melonjak-lonjak. “Tak peduli gaji kecil asalkan saya…bisa tinggal di sini, Pak?’
“Tentu saja. Itu bisa diatur. Dik Rahmi sudah mengusulkan hal itu pada kami.”
Aku tak menyangka sama sekali!
“Lagi pula nenek-nenek di sini juga sudah terlanjur sayang sama Dik Dini,” timpal peng­urus yang lain.
Aku tersenyum bahagia. Satu persatu buliran bening itu jatuh di pipiku. Apalagi saat kuingat perkataan Ibu beberapa waktu lalu.
“Ibu…punya rahasia….”
“Apa, Bu?”
“Ibu juga…dulu anak…angkat.”
“Apa? Yang benar?”
“Ibu dibuang di rumah sakit. Kakekmu yang memungut Ibu….”
Aku ternganga.
“Dan…Ibu tak percaya…harus dibuang…lagi ketika tua….”
Kuusap airmataku kembali dan keluar dari ruangan pengurus panti dengan langkah mantap. Dari kejauhan kulambaikan tangan pada Ibu dan Rahmi. Kucium Ibu. Kubisikkan sesuatu hing­ga kulihat senyum lebarnya menjelma kembali seperti dulu, saat kami semua masih bersama.
“Aku cinta Ibu, selamanya…, Ibu tak akan sendiri.”
Ibu memelukku erat.
“Selamat ya, Din…karena kamu jadi penghuni panti yang paling muda dan cantik…, dan berarti aku nggak harus nyariin kamu calon suami buru-buru kan?”
“Rahmi!” Kupelototi dia, kukelitik pinggangnya. Ia berlari, kukejar. Dengan lincah ia menyelinap di antara tempat tidur para nenek, dan berlindung di balik badan gemuk salah seorang dari orangtua itu. Nenek-nenek yang lain terpingkal-pingkal melihat kami.
Kutatap wajah mentari Rahmi, saudara seimanku itu. Seperti aku tumbuh di hati Ibu, ia pun telah berada di kalbuku. Dengan cinta, selamanya.
                                         ***                                  
Helvy Tiana Rosa, Cipayung, 2000
Dari sastrahelvy.com